September 5, 2015

A Journey of Walking Closer to the Sky

(This is a repost from my facebook notes I posted about a year ago, about my first experience of hiking a mountain and how I fell in love with this activity.)


What's going on in my mind is really not comparable with my writing caliber. There are so much to share, yet I don't know how to pour my thoughts into a wrapping of proper words. But I don't want to muff the memory of my first mountain hiking, because it's too beautiful to forget. So this is what I got.



Papandayan, Juli 2014014



PREPARATION.

Papa emang jauh lebih semangat packing daripada aku. H-1 aku masih bisa santai-santai di kasur, sedangkan Papa udah dari H-(banyak), mulai siapin carrier dan barang-barang lainnya. Pas aku lagi tiduran di kamar, Papa tuh bisa tiba-tiba masuk dan kasih barang-barang ajaib lainnya buat dibawa. Belanja makanan juga kayaknya berlebihan. Akhirnya carrier ga muat dan ada beberapa yang harus ditinggal.
Pertama kali angkat carrier, rasanya kayak angkat Hulk. Berat. Pake banget. Yang awalnya ga takut sama sekali mau naik gunung, sekarang jadi ngeri ga mampu bawa carrier. Mama juga takut aku ga kuat bawa. Mulai ragu bakal sanggup atau engga...
Re-packing di rumah Anggia. Kurangin semua barang yang gabegitu penting. Waktu itu carriernya penuh, tapi tetep ngotot mau masukkin Pringles haha :P habis tidur, we're set to go.


ON THE WAY.


Mobil Serena awalnya diisi Kak Tasya, Kak Rio, Kak Icha, Anggia, sama Aku. Tapi di tol ada tambahan Ko Rey, sepupunya Anggi. Dia yang lanjut nyetir sampai Garut.

Karena kebanyakan tidur, tau-tau udah sampe aja di Garut. Jalanan ke Papandayannya rusak parah, naik mobil udah berasa di sofa refleksi yang geter-geter itu. Bahkan mobilnya sempet stuck dan gamau naik. Tapi karena ceritanya mobil ini emang jagoan, dan juga yang nyetir gantian sama yang katanya udah berpengalaman nyetir di Kalimantan (a.k.a Ko Terry), akhirnya kita berhasil sampai di tujuan dengan utuh!


THE BEGINNING.


Track awal: berbatu, vegetasi minim, ada kawah belerang .Ya tipikal semacam itu lah. Eh, baru 5 menit jalan, tanjakan juga baru mulai, udah ngos-ngosan aja. Aku harus jalan kayak gini selama 2 jam. Ngebayangin aja serem. Pesimisnya mulai muncul. Tapi tiba-tiba inget, Anggia aja bisa naik Gede yang untuk ke basecampnya butuh waktu 7-8 jam. Kalo dia bisa, aku juga harus bisa. Selama perjalanan, yang aku pikirin buat nambah semangat ya itu.

Carrier tuh emang yang paling nyusahin dari the whole trip...Rasanya pengen lempar aja carriernya ke kawah biar menguap sekalian. Beraaaat! Ada kali 1/3nya berat badan aku.
Kira-kira setengah jam lebih perjalanan, sampai juga didaerah dimana vegetasinya udah mulai berubah. Di situ koko-koko dan cici-cici yang lain udah ga keliatan. Aku sama Anggi gatau jalan, jadi kita duduk aja dan nunggu kakak-kakak yang masih di belakang. Setelah beberapa menit, muncul deh Kak Tasya dkk di tempat aku sama Anggia duduk. Nah, ada yang lucu nih. Yang aku tau, Ka Icha sempet lemes gitu di perjalanan, makanya mereka jalan agak dibelakang. Terus pas aku ketemu sama mereka, aku liat Ko Rey bawain tasnya Kak Icha..................................................aku sih bengong aja ngeliatnya. Jadi Ko Rey bawa carrier dia sendiri di belakang, dan tas Kak Icha di depan, plus kalo ga salah, bawa tenda juga. WAAAAAAAAAAA….. ITU BERAPA KILO….. -_- aku yang cuma bawa 1 carrier aja udah mblehe. HAHAHA. Pokoknya langsung amazed lah, ajaib banget. Dan jadi makin semangat bawa carrier juga hehehe.
Then the journey continued... Udah mulai terbiasa. Kalo capek, diem dulu sebentar, abis itu jalan lagi. Sekarang kiri kanan udah banyak tanaman. Btw, sepanjang track itu motor trail lewat meluluuu, bikin tergiur mau nebeng deh. Pas lagi jalan, ada bapak-bapak lewat kasih tau kalo daun yang ini bisa di makan, terus aku sama Bulan cobain. Enak deh, asem-asem kayak anggur. Habis itu aku jadi norak, setiap liat daun itu aku makanin semua hehehe. Sepanjang jalan banyak tumbuhan pakunya, tapi ga nemuin yang bersporokis satupun. #KokJadiBiologi #MulaiSalahFokus. Sepanjang jalan juga aku dengerin Anggi dan Bulan cerita-cerita. Lucu banget mereka berdua, ceritanya bikin ketawa terus. Di beberapa titik tertentu, the view was brutally outstanding. Somehow, jadi bikin agak tenang.
Setelah kira-kira 2-3 jam perjalanan, at last kita disambut sama open field nya Papandayan. Pondok Saladah!




BASECAMP.

Rasanya gaperlu angkat carrier lagi itu kayak beban hidup semua sirna. Legaaaaaaa... Setelah makan indomie yang dimasakin Ci Jun (our lovely chef :P), kita semua istirahat, aku sama seisi tendaku tidur. Selama tidur aku sering kebangun gara-gara kedinginan... Super kedinginan sampe menggigil ga karuan. Waktu tenda aku orangnya udah pada bangun, kita cerita-cerita deh. Tepatnya Kak Icha yang cerita-cerita, yang lain mendengarkan dengan antusias.
Waktunya dinner, keluar tenda ternyata lebih dingin lagi. Ini kayaknya tanda-tanda harus nambahin pasokan selimut alami alias lemak didalam tubuh. Untung makanannya enak! Lagi-lagi Ci Jun, dia yang masak daging maling dan lainnya. Kita makan sembari ngobrol. Pada bilang, kalau sekarang pake jaket udah berlapis-lapis, nanti jam 3 pagi bakal lebih kedinginan. Jad iaku buka jaket aku yang luar dan buka kaos kaki. Hasilnya, aku makin kedinginan, hehehe, but hope it was worth it. Oh ya, aku juga nyobain minuman enak yang dibawain Ko Harry.
Buat ngisi waktu, beberapa dari kita main game kecil-kecilan. Tapi karena kedinginan, kita lanjut ngobrol-ngobrol di tenda. Seneng dengerin cerita-cerita dan pengalaman koko-koko sama cici-cici yang semua ceritanya lucu-lucu dan hebat-hebat. Time went by, gatau berapa lama kita udah ngobrol-ngobrol di situ. Yang pasti acara tukar cerita ini makin buat kita deket dan kenal satu sama lain.


A SKY FULL OF STARS.

Sekitar jam 10 malam, mereka yang di luar manggil kita yang di tenda, "Ayo keluar, mau liat bintang, ga?" Aku lumayan excited mau liat bintang. Berhubung adek aku yang paling kecil cinta astronomi, jadi aku sering ketularan suka juga. Tapi se-excited-nya aku buat liat bintang, aku sama sekali ga prepared sama pemandangan yang aku liat. Waktu nengok keatas……….gatau lagi deh. Gatau ngomongnya gimana. Bagus banget. Literally a sky full of stars. It made me wanna cry, tapi gabisa, gabisa nangis, terlalu shock gitu. Nothing can explain my feelings at that moment. I was really full of archaic. Ga bisa stop mikir, "OMG OMG, Wira harus liat ini. Aduh, coba Wira bisa liat." Yang lebih gila lagi, Milky Way keliatan jelas juga. I was lost for words. Aku ga pernah tau kita bisa liat Milky Way tanpa pake teropong. Ternyata?
Breathtaking.
Aku sama Bulan coba-coba cari mana rasi bintang pari. Masalahnya banyak banget yang bisa disambungin jadi bentuk layangan...tapi who cares. At least we came to a hypothesis of which direction led south.
Aku pernah liat pemandangan kayak gini pas di planetarium. Serupa sih, tapi jelas-jelas beda. Di planetarium jarak pandangan mata paling berapa meter sih sama kubahnya? Ga sebanding lah sama pemandangan asli yang jarak pandangnya sampe pake satuan tahun cahaya. It still amazes me, how we can still captured the light came from such a long, long distance. Berarti cahayanya terang banget ya?
And yes, all the credits goes to The Almighty Creator.



MOUNTAIN CLIMBING, LITERALLY.


Setelah beberapa jam tidur dimana aku ga henti-hentinya menggigil, sekitar jam 3 kita bangun buat lanjutin perjalanan ke puncak Papadayan. Singkat kata, kita salah jalan. Orang bilang medan pendakian Papandayan ga berat. Tapi jalur pendakian yang kita lewatin itu jauh dari kata mudah. We kept on walking for about half an hour. Tapi kok jalannya leads nowhere, mana gelap pula. Seringkali kita harus mundur karena jalan yang di ambil buntu. Seharusnya di perjalanan ke puncak, kita bakal nemuin Hutan Mati dan padang edelweiss. Tapi kok ini ga ketemu-ketemu? Sempet kita mau balik ke basecamp dan lanjutin perjalanan kalo matahari udah terang. Jujur aku sih maunya terus aja, soalnya mau liat sunrise. Tapi aku ngertiin kalo diterusin bisa bahaya. Setelah di semangatin Ci Vero, kita semua akhirnya lanjut. Prinsipnya, selama jalannya mengarah ke atas, akhirnya sampe puncak juga toh.

Kita mulai panik waktu nemuin satu tanjakan curam. Untuk lewatin tanjakan ini ga bisa cuma jalan biasa, kita literally harus pake tangan buat manjat. Susah payah kita lewatin tanjakan itu, ternyata itu baru awal. Sepanjang perjalanan, kita lewatin tanjakan-tanjakan yang makin lama makin curam, makin gaada pegangan, tanah makin gembur, dimana kalo lose grip, ya tinggal gelinding aja bermeter-meter.
Disini bener-bener butuh yang namanya teamwork. Buat yang udah di atas, harus bantu mereka yang masih di bawah. Entah bantu kasih arah pijakan, atau bantu narik. Kita juga belajar sabar, nungguin yang lain lewat, karena kita naik ber 14, dan lewatin setiap tanjakan harus satu persatu. Penting juga yang namanya sosok leader. Sosok yang punya pengalaman, tanggung jawab, dan juga peduli sama yang lain. Ko Harry dan Ci Vero, they have those qualities.
Kita sampe di suatu titik dimana kalo kita nengok kebelakang, keliatan matahari yang mulai terbit. Lagi-lagi kita disuguhin pemandangan yang gila-gilaan bagusnya. Perasaan capek, pegel, takut, they were gone for a while. Dimana cakrawala keliatan jelas, membentuk geradasi warna yang indah banget.
Lanjut. Makin ke atas, tanjakannya makin hebat-hebat. Beberapa kali kita nemuin jalan yang terlalu ga mungkin buat didaki tanpa alat apapun, dan bikin kita mikir, apa lebih baik kita turun aja? Ko Harry yang udah berpengalaman aja ngeri harus bawa kita terus naik, karena bener-bener,taruhannya nyawa. Aku pribadi gamau turun... Pertama aku bingung, turun lewat sini gimana caranya? Gelinding kayak armadilo? Bahaya juga. Kalo kita sampe puncak, kita bisa cari path lain yang umum buat turun. Kedua, menurut feeling aku kita tuh udah deket. Sayang turun lagi, udah makan berapa jam perjalanan. Tapi lagi-lagi, aku harus ngerti kalo dilanjutin juga bahaya, jadi aku biarin yang punya pengalaman yang buat keputusan. Luckily, Kak Rio ternyata bawa webbing. Walaupun aku ga sempet pake webbingnya karena udah terlanjur naik, tapi denger-denger itu sangat membantu buat yang lain.
Suatu kali di akhir suatu tanjakan, dengan cuman Ko Harry dan Kak Tasya yang di depan aku, aku liat mereka kebingungan cari jalan buat lanjut. Tanjakan yang menanti itu sangat ekstrim dan bakal sangat susah buat dilewatin. Aku sama Ci Shinta nunggu dengan posisi paling bikin pegel (a.k.a posisi kayak cicak). Untungnya selagi nunggu, aku notice kalo di daerah kiri aku ada tanjakan yang kayaknya lebih memungkinkan buat dilewatin. Langsung lah aku bilang ke Ko Harry, dan aku coba lewatin tanjakan itu. Tanahnya gembur bukan main, pegangannya juga minim. Sempet beberapa kali aku merosot sedikit dan kebingungan naiknya gimana. Untung ada Ci Shinta, yang bantuin kasih tau harus pegangan sama apa. Tanjakannya lumayan panjang, jadi geraknya harus cepet.
Dan rasanya aku mau nyanyi 'For The First Time in Forever' aja waktu aku liat kalo yang di depan mata itu udah puncak. Seneng banget. Sampe puncak ga bakal sebahagia ini kalo jalan yang dilewatin ga seajaib track yang kita ambil. Aku sama Ci Shinta duduk lega melepas lelah, makan coklat, nungguin yang lain. I also took some triumph selfies hehehe. After a while, Ko Harry dan Ka Tasya akhirnya sampe juga, disusul yang lainnya. Seneng banget rasanya liat semua yang naik sukses sampe puncak. Bener-bener ngerasain keberhasilan sebuah tim.



ANOTHER GOD'S WORKS OF ART.


Nah, waktu turun ini baru kita lewat path yang bener. Kalo dibandingin sama jalan naik sih ga ada apa-apanya. Kali ini, kita ketemu yang disebut-sebut padang edelweiss dan Hutan Mati.

Padang edelweis di Tegal Alun itu…..lagi-lagi ga bisa digambarin pake kata-kata. Another archaic filled my throat. Yang jelas, pemandangannya bikin mau putus sekolah dan tinggal aja disitu selama-lamanya. Lol jk. But really, Tegal Alun has one of the most amazing view in this world. Aku ga pernah liat edelweiss sebelumnya, jadi aku norak lagi waktu liat hamparan edelweiss seluas itu. Bunga edelweiss yang disebut bunga keabadian ini, cuma tumbuh di daerah pegunungan. Semacam childhood dream came true. Waktu kecil cuma bisa nyanyiin lagunya, kesannya cuma impian kosong buat ngeliat bunga ini langsung. Tapi hari itu aku berhasil liat edelweiss with my own eyes. Dan ga cuma satu, ribuan. Foto di sini hasilnya bagus banget. Mau pose kayak apa juga bakal bagus, soalnya pemandangannya sangat mendukung.
Hutan Mati juga bagus. Hutan Mati itu hutan, yang pohonnya udah mati, karena kena erupsi dulu. (Kayaknya begitu.) Satu lagi pelajaran geo yang aku aplikasi di dunia nyata, dampak erupsi: membentuk daerah dengan karateristik baru yang berpotensi menjadi objek wisata.
Akhirnya setelah melewati pejalanan sangat panjang, ditambah acara kejeblos di rawa-rawa, kita sampe juga di Pondok Saladah, dan kita istirahat sambil siap-siap untuk turun.




WHO DID I SAW?


Ternyata bener, perjalanan turun emang kerasa jauh lebih mudah dibanding waktu naik. Karena ga secapek dan se-distracted waktu naik, kita jadi sempet nikmatin pemandangan dan juga foto-foto. Hutan Mati sama Tegal Alun keliatan dari jauh. Waktu naik, kita ga sadar kalo yang kita liat itu Hutan Mati dan Tegal Alun.

Waktu kita sampe di daerah bebatuan lagi, yang ada kawah, kita berhenti dulu buat istirahat sekalian foto-foto. Nah, mungkin ini part paling gapenting dari rangkaian tulisan ini. Tapi aku liat bule. Bukannya norak sama bule, tapi aku perhatiin ada bule cowok pake jaket ijo, dia mirip banget sama Zieler, salah satu goalkeeper Jerman. Tapi aku jaim aja, padahal aku liat Ko Rey bahkan udah foto sama dia, bulenya emang agak narsis. Menurut hasil nguping, bulenya itu dari Jerman. Aduh, aku makin panik! Takut itu beneran Zieler. Kalo itu beneran dia, dan aku ga foto ato minta tanda tangan, bisa nyesel seumur hidup. Walaupun kalo dipikir-pikir, kayaknya Zieler ga mungkin sependek dan sekurus itu, dan ngapain juga dia naik gunung? Ya sekarang sih aku cuma berharap aja itu bukan Zieler...



END OF THE JOURNEY.



Pulang ke Jakarta ini emang lama di mobil. Kita sempet stop di Garut buat makan, dan jalan-jalan di suatu daerah kuliner. Di jalanan itu kiri kanan isinya martabak, roti bakar, kacang rebus, berbagai jenis ayam.....bikin ngiler. Tapi aku ga beli apa-apa sih. On the way Garut ke Jakarta, jalanan macet banget karena lagi ada pemberlakuan sistem one way. Jalan satu menit, berhentinya bisa 30 menit. Ya aku sih lagi-lagi kebanyakan tidur. Dengan banyak kejadian lucu dan aneh, kayak contohnya di tol ada mobil yang ngesot di depan mobil yang aku naikin, akhirnya sekitar jam 5 pagi, kita sampe di Jakarta.






Sekarang aku kangen sama gunung. Nulis ini juga salah satu dampak kangen. Waktu sampe rumah langsung liat kalender, cari tanggal merah, pengen cepet-cepet naik gunung lagi.

I experienced love at first sight of hiking a mountain. You don't really know why, but once you finished a journey, you will always be begging for more. I saw so many things I've never seen before, bunch of God's creations that I'd never see anywhere else, that made me admire Him even more. I discovered a lot of new stuffs. I learned so much, about how not to give up easily, and that you'll always find a way to reach your goal, as long as you stay positive. I met a bunch of new friends which I love so much. We made a camaraderie in the hardest yet most beautiful situation possible. And I am so thankful to be able to experience this journey.
I appreciate this mountain, the lovely Mount Papandayan, for being such a good friend, for introducing me to the beauty of hiking a mountain. I’ve reached the top of a mountain once, and like I said, now I am begging for more. So the question is, which one's next?


No comments:

Post a Comment